Seperti hari libur biasa, keadaan rumah pagi begini sangat sunyi senyap. Semua penghuninya, tak terkecuali saya, menggunakan ’karunia’ ini dengan sebaik-baiknya. Tapi tepat pukul 07.00 terdengar keributan diluar. Langsung loncat untuk mencari tahu. Tenyata panitia pengawas pilkada sedang melakukan sumpah serapah eh...sumpah, ikrar ato apalah namanya di TPS 23 depan rumah. Ini hari yang cukup penting tapi tak terlalu dinanti-nantikan. Karena hari ini PILKADA untuk Gubernur dan Wakil Gubernur Sul-Sel. Pada awalnya saya berniat untuk tidak menggunakan hak suara yang saya miliki. Toch kupikir siapapun yang terpilih takkan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadapku. Tapi setelah melalui perdebatan yang cukup alot dengan beberapa teman dan saudara dan pertimbangan lain seperti betapa kerennya kelingking tangan kiriku nantinya yang akan ada tinta berwarna biru atau setelah melihat orang-orang yang berdemo didepan kantor KPUD menuntut hak pilihnya. Dan ya akhirnya inilah saya. Yang sedang terburu-buru mandi dan melangkah dengan manisnya (meski dengan kaki yang sedikit pincang) menuju ke TPS. Pilkada kali ini mengusung tiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sul-Sel yaitu (1) Amin Syam-Mansyur Ramly yang menjanjikan peningkatan sumber daya manusia Sul-Sel (2) Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar-Mubyl Handaling yang menjanjikan pemerintahan yang bersih (3) Syahrul Yasin Limpo-M. Agus Arifin Nu’mang yang menjanjikan pendidikan dan kesehatan gratis. Siapapun yang terpilih nanti semoga janji bukan tinggal janji.
Sekitar pukul 13.00 rasa sakit dijempol kaki kiriku yang muncul lagi sejak dua hari yang lalu sudah tidak tertahan. Serasa ada sesuatu yang selalu menusuk setiap kali kaki melangkah. Rasanya tak ada kompromi lagi. Operasi kedua harus segera dilakukan. Diagnosa awal operasi kedua ini : patahan pensil ternyata masih ada. Diluar terdengar jelas suara panitia pemilu dkk. mulai membacakan hasil perolehan suara. Sementara di kamarku operasi pengangkatan pensil sedang disiapkan. Operasi kali ini lumayan besar. Karena harus melibatkan seorang tenaga medis (yang pasti bukan suster apalagi dokter, bukan pula seorang dukun). ” Nomor 2... 3... 2 lagi... 1....”. Keringatku sudah mulai bercucuran. Menahan sakit + sesekali meringis. ” 1... 3... 2... 2....”. Konsentrasi yang mulai terpecah. Mata yang terus mencari patahan pensil dan telinga yang terus tergoda oleh suara-suara diluar. Butuh waktu yang cukup lama. Saat asa mulai beranjak. Tiba-tiba secerca harapan muncul. “ Ya… 3…2… dan yang terakhir adalah nomor…. 2……”. Bersamaan dengan letupan keriuhan diluar saat perhitungan selesai, Artsal pun berhasil mengeluarkan patahan pensil yang sudah hampir satu minggu bersarang dalam kakiku itu. Panjangnya sekitar 4 mm dan tertancap lumayan dalam. Tanpa ba bi bu, refleks akupun segera bangkit melangkah keluar. Tak peduli lagi rasa nyeri ada. Rasa penasaran membuatku segera mengambil jilbab dan melangkah keluar. ” Jadi siapa yang paling banyak suaranya tante?”... ”oh, nomor dua nak”...(akupun sejenak tersenyum).
No comments:
Post a Comment