09 December 2007

Tudang Sipulung Dalam Perspektif (Alfia)

Hari itu udara diluar sangat terik. Namun di dalam ruangan yang hanya bisa menjadi saksi bisu itu, udara sangatlah sejuk. Bahkan dingin. Mungkin karena dua set AC yang menyala dengan sempurna. Namun siapa yang dapat mengira kalau ternyata beberapa waktu kemudian udara menjadi sangat panas. Bahkan panasnya dapat menembus hingga ke dalam rongga dada yang paling dalam. Membuat otak terasa mendidih dan ingin meledak. Namun harus tertahan oleh rangka tenggkorak yang terus membatu. Bukan karena AC yang berhenti mengeluarkan udara yang sejuk. Tapi mungkin karena korek api yang ada didalam kepala mulai tersulut.

Hari itu perhelatan besar digelar. Tudang Sipulung. Tudang Sipulung merupakan bahasa bugis. Dalam bahasa Indonesia tudang berati duduk, sipulung berarti berkumpul bersama. Perhelatan kali ini tentunya takkan sama dengan sebuah perhelatan yang dilakukan oleh suku tertentu yang dipimpin oleh seorang kepala suku. Namun mungkin karena tampak fisiknya yang terlihat, maka perhelatan kami ini disebut tudang sipulung. Karena saat menengok dari pintu atau jendela kaca yang ada akan nampak jelas keadaan kami yang sedang duduk berkumpul bersama-sama di atas lantai beralas karpet. Kami adalah keluarga kecil Ikatan Mahasiswa Akuntansi yang sebenarnya sangat berharap banyak dari hanya sekedar duduk berkumpul bersama-sama. Masing-masing kami memiliki harapan yang berbeda.

Entah karena rindu yang sudah terbendung layaknya antara anggota keluarga yang baru bertemu lagi saat mudik lebaran. Atau mungkin karena adanya rasa cinta dalam berbagai kadar, mulai dari yang paling tinggi hingga kadar cinta yang paling rendah. Atau mungkin juga bentuk emosi lain yang belum bisa kudefinisikan. Yang pasti semuah tumpah ruah disana. Ramai. Gaduh. Pecah dan tak berirama. Tak perlu kuceritakan lagi bunyi-bunyian apa yang muncul disana. Yang pasti semua yang kudengarkan membuat dadaku penuh. Sesak dan Sakit. Dan aku merasa kalah bahkan saat peperangan yang kujalani belum berakhir.

Sekali lagi kau benar cham. Harapan atau ekspektasi yang berlebih membuat semua hancur berkeping-keping. Yang pasti semuanya takkan pernah sama lagi setelah hari itu.

'Dewasa dalam berlembaga' Ini merupakan sebuah rangkaian kata, kalimat, frase atau apapun namanya yang sempat aku tertawai dulu. Ketika ini terucap dari mulut seorang senior. Entah itu sebagai seruan, pernyataan atau sebuah harapan. Yang pasti saat itu aku tak paham. Hanya menganggapnya sebagai rangkaian kata. Mungkin tanpa makna. Bahkan sesuatu yang melangit, tinggi. Ternyata hari ini. Aku harus tertawa lagi. Masih dengan rangkaian kata yang sama. Namun bukan karena ia keluar dari mulut orang lain. Bukan pula keluar dari mulutku sendiri. Namun nampaknya ini merupakan kunci dari semua masalah yang ada saat ini.Mencoba bersikap bijak sebelum meminta orang lain

No comments: